Yendri Junaidi, Lc, MA (Dosen STIT Diniyyah Puteri Rahmah El Yunusiyyah Padang Panjang)

Pada tahun ini (1445 H), terjadi perbedaan penetapan awal Zulhijjah antara Indonesia dengan Arab Saudi. Meskipun perbedaan penetapan 1 Zulhijjah antara Arab Saudi dengan negara-negara lain, termasuk Indonesia, tidak terjadi pada tahun ini saja. Namun masih terjadi keragu-raguan dari umat Islam untuk mengamalkan puasa di bulan Zulhijjah. Diketahui, Arab Saudi telah menetapkan tanggal 1 Zulhijjah bertepatan dengan dengan 7 Juni 2024, Oleh karenanya, sebagian umat Islam ada yang merencanakan berpuasa pada hari Sabtu 15 Juni (9 Zulhijjah), sebab hari sabtu itu adalah saat jamaah haji melaksanakan wukuf di Arafah. Namun ada juga yang melaksanakan puasa Zulhijjah sesuai dengan penanggalan yang ditetapkan di Indonesia, sehingga mereka akan tetap berpuasa Zulhijjah hingga hari Ahad (9 Zulhijjah).

Perbedaan penetapan awal Zulhijjah juga terjadi pada masa lalu, misalnya pada tahun 784 H, hilal Zulhijjah tidak terlihat karena mendung. Akhirnya masyarakat menyempurnakan bilangan Zulqa’dah 30 hari. Tapi ada beberapa orang mengaku telah melihat hilal. Sayangnya kesaksian mereka tidak diterima oleh pemerintah saat itu. Ketika tiba pada tanggal 9 Zulhijjah menurut versi yang pertama (istikmal Sya’ban), banyak orang yang ragu untuk berpuasa arafah karena boleh jadi hari itu adalah tanggal 10 Zulhijjah menurut versi beberapa orang yang mengaku telah melihat hilal, meskipun kesaksian mereka ditolak pemerintah. Akhirnya terjadilah kekacauan.


Diantara ulama yang menyikapi masalah ini dalam satu risalah khusus adalah Imam Ibnu Rajab al-Hanbali. Ia mengatakan:

إذا شك فى دخول ذي الحجة بنى الأمر على إكمال ذي القعدة لأنه الأصل ويصام يوم عرفة على هذا الحساب وهو تكميل شهر ذي القعدة

“Kalau seseorang ragu tentang awal Zulhijjah ia bisa mendasarkannya pada ikmal (menyempurnakan) Zulqa’dah karena yang asal adalah masih Zulqa’dah, dan ia berpuasa arafah berdasarkan perhitungan tersebut yaitu menyempurnakan bilangan Zulqa’dah.”


Perhatikan kalimat Imam Ibnu Rajab : “ia berpuasa arafah berdasarkan perhitungan ini…”. Artinya yang dijadikan patokan untuk puasa arafah adalah kapan awal Zulhijjah berdasarkan rukyah yang dilakukan di daerah tersebut. 

Ketika penetapan awal Zulhijjah ini dilakukan atau ditetapkan oleh imam atau penguasa setempat tentu ini mesti menjadi acuan dalam menentukan kapan tanggal 9 Zulhijjah untuk puasa arafah dan 10 Zulhijjah untuk hari raya Idul Adha.

Hal ini diantaranya, didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan Imam Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya dari Imam Masruq. Suatu ketika ia (Masruq) dan seorang temannya datang menemui Sayyidah Aisyah ra. Beliau (Aisyah) berkata pada pembantunya, “Hidangkan untuk mereka minuman. Kalau aku tidak sedang puasa tentu aku juga ikut minum.” Keduanya berkata, “Apakah engkau puasa hari ini wahai Ummul Mukminin? Boleh jadi hari ini adalah hari kurban (10 Dzulhijjah)?” 

Sayyidah Aisyah menjawab:

إنما يوم النحر إذا نحر الإمام وعظم الناس والفطر إذا أفطر الإمام وعظم الناس

“Hari berkurban itu apabila imam (pemimpin/pemerintah) dan kebanyakan orang berkurban dan hari berbuka (Idul Fitri) itu apabila imam (pemimpin/pemerintah) dan kebanyakan orang berbuka.” 


Imam Ibnu Rajab, melakukan istinbath dari hadits Aisyah ra ini. Ia berkata:


إن يوم عرفة هو يوم مجتمع الناس مع الإمام على التعريف فيه ويوم النحر هو الذي يجتمع الناس مع الإمام على التضحية فيه وما ليس كذلك فليس بيوم عرفة ولا يوم أضحى وإن كان بالنسبة إلى عدد أيام الشهر هو التاسع أو العاشر

“Sesungguhnya hari Arafah itu adalah hari manusia berkumpul bersama imam untuk berarafah. Hari berkurban adalah hari dimana manusia bersama imam berkumpul untuk menyembelih hewan kurban. Kalau tidak demikian maka ia bukan hari arafah atau hari idul adha meskipun kalau dilihat pada penanggalan bulan itu adalah hari kesembilan atau kesepuluh.”

Jadi yang menjadi patokan dalam penentuan hari Arafah dan Idul Adha itu adalah kesepakatan manusia dan imam atau pemerintah di suatu tempat. 


Kemudian Ibnu Rajab menukil pendapat Syekh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah :

إن اسم الشهر والهلال لا يصدق بدون اشتهار رؤيته وترتيب الفطر والنسك عليه ، فما لم يكن كذلك فليس بهلال ولا شهر

“Penamaan bulan dan hilal itu tidak terjadi kalau tidak ada isytihar rukyah (dilihat dan disebar), dan idul fitri serta idul adha didasarkan kepadanya. Kalau tidak demikian maka ia bukan hilal dan bukan bulan.”


Memang, menurut ulama Syafi’iyyah, kalau ada seorang yang yakin telah melihat hilal, tapi kesaksiannya tidak diterima oleh pemerintah, ia tetap mesti beramal sesuai dengan apa yang ia saksikan. 

Imam Nawawi berkata dalam al-Majmu’ :

لو شهد واحد أو جماعة برؤية هلال ذي الحجة فردت شهادتهم لزم الشهود الوقوف في اليوم التاسع عندهم والناس يقفون بعده فلو اقتصروا على الوقوف مع الناس في اليوم الذي بعده لم يصح وقوف الشهود بلا خلاف عندنا

“Kalau ada satu atau sekelompok orang menyaksikan hilal Dzulhijjah tapi kesaksian mereka ditolak, mereka tetap mesti wukuf di hari kesembilan (9 Dzulhijjah) ‘menurut mereka’, meskipun orang-orang wukuf sehari setelah itu. Kalau mereka hanya wukuf di hari setelah itu saja bersama orang lain, maka wukuf mereka tidak sah.”


Tapi, ini dalam konteks jika ia melakukan rukyah secara langsung, tidak bersandar pada rukyah di negeri lain. 

Namun, kalangan Hanafiyyah berpendapat sebaliknya. Imam Muhammad bin al-Hasan mengatakan : 

يلزمهم الوقوف مع الناس أي وإن كانوا يعتقدونه العاشر قال ولا يجزئهم التاسع عندهم

“Ia mesti wukuf bersama orang banyak meskipun ia meyakini bahwa hari itu adalah tanggal 10 Dzulhijjah, dan tidak sah jika ia wukuf di tanggal 9 Dzulhijjah ‘menurut mereka’.”


Pendapat ini sesuai dengan semangat kebersamaan, menjaga persatuan dan menghindari perpecahan yang sudah dipesankan oleh Imam Syafi’i ra. 

Beliau berkata dalam kitab al-Umm:

وأحب لهم أن يصلوا صلاة العيد لأنفسهم جماعة وفرادى مستترين ونهيتهم أن يصلوا ظاهرين لئلا ينكر عليهم ويطمع أهل الفرقة فى فراق عوام المسلمين

“Saya lebih suka mereka shalat ied untuk diri mereka -baik berjamaah maupun sendirian- secara sembunyi-sembunyi. Saya melarang mereka shalat secara terang-terangan agar tidak ada orang yang mengingkari (menyalahkan) mereka, dan agar orang-orang yang suka memecah-belah (ahlu al-furqah) tidak mendapatkan celah untuk memecah-belah kaum muslimin.”


Kesimpulannya:

Puasa Arafah kita di Indonesia adalah hari Ahad, 16 Juni 2024 karena bertepatan dengan 9 Zulhijjah 1445 H sesuai hasil rukyat yang dilakukan pemerintah dan sesuai pula dengan hasil hisab Muhammadiyah. Dengan demikian, Idul Adha kita adalah Senin, 17 Juni 2024.

تقبل الله منا ومنكم صالح الأعمال

(Editor/ TR)