Beberapa orang bertanya apakah benar ‘ain itu ada? Apakah benar memajangkan foto di rumah, memasang foto profile di media sosial dan sebagainya beresiko terkena ‘ain?
Pertama, perlu ditegaskan bahwa ‘ain itu haq, benar adanya. Mereka yang mengingkarinya sepertinya terbelenggu oleh penjara inderawi. Mereka mempertanyakan, bagaimana mungkin mata atau pandangan bisa memberikan pengaruh pada objek yang dilihat dari jarak jauh. Bagi mereka sesuatu yang berada di luar jangkauan panca indera berarti tidak ada.
Dalam kehidupan sehari-hari banyak hal yang sesungguhnya bisa menjadi isyarat bahwa pengaruh ‘ain itu memang ada.
Ketika kita diperhatikan oleh orang yang kita segani kita merasa malu, segan dan terkadang salah tingkah. Wajah kita pun berubah warna menjadi kemerahan. Melihat mata orang yang terkena penyakit ramad bisa membuat mata kita juga sakit. Kita duduk di dekat seseorang. Tiba-tiba ia menguap. Tanpa sadar, kita juga ikut menguap.
Sebagian orang memang memiliki ruh yang kuat. Kuat disini bisa berarti positif atau negatif. Kekuatan ruhnya bisa berpengaruh pada objek yang dilihatnya. Tentu pengaruh yang ditimbulkannya berbeda-beda kekuatannya. Untuk kasus ‘ain pengaruhnya bisa sampai pada tahap mematikan.
Jadi apa itu ‘ain?
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan:
العين نظر باستحسان مشوب بحسد من خبيث الطبع يحصل للمنظور منه ضرر (الفتح 10/200)
“’Ain adalah melihat sesuatu dengan rasa suka (takjub) bercampur hasad dari seseorang yang memiliki tabiat yang buruk sehingga menimbulkan bahaya bagi objek yang dilihat.”
Definisi ini ada yang mengkritisinya. Dalam beberapa kasus bahaya ‘ain tidak hanya datang dari orang yang memiliki rasa hasad, dan tidak hanya dari orang yang memiliki tabiat yang buruk. Hanya dengan melihat dan ia merasa suka pada objek yang dilihatnya bahaya bisa menimpa objek tersebut.
Karena itu dalam hadits yang diriwayatkan al-Bazzar dari Anas ra :
من رأى شيئا فأعجبه فقال ما شاء الله لا قوة إلا بالله لم يضره
“Siapa yang melihat sesuatu yang membuatnya kagum lalu ia berkata: Masya Allah… La quwwata illa billah… niscaya ia tidak akan membahayakan objek itu.”
Tapi satu hal yang mesti diingat. ‘Ain itu benar, tapi ia tidak akan bisa memberikan dampak dan bahaya dengan sendirinya. Semua terjadi atas izin Allah Swt. Artinya, bagaimanapun seseorang memiliki kepribadian yang kuat, ruhani yang dahsyat, aura yang mencengangkan, kharisma yang melumpuhkan, tapi semua tidak akan berdampak apa-apa kalau Allah Swt tidak mengizinkan itu terjadi.
Dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim dari Ibnu Abbas ra :
الْعَيْنُ حَقٌّ، وَلَوْ كَانَ شَيْءٌ سَابَقَ الْقَدَرَ سَبَقَتْهُ الْعَيْنُ، وَإِذَا اسْتُغْسِلْتُمْ فَاغْسِلُوا
“’Ain itu benar adanya. Kalau ada sesuatu yang bisa mendahului taqdir tentu itu adalah ‘ain. Dan apabila kamu diminta mandi maka mandilah.”
Yang juga perlu menjadi catatan, pengaruh itu terjadi bukan semata karena pandangan mata melainkan ruh dan tabiat orang yang memandangnya.
Disebut ‘ain bukan karena mata yang menjadi penyebabnya. Mata hanyalah media bagi ruh yang ‘kuat’ dalam ‘berinteraksi’ dengan objek tertentu.
الذي يخرج من عين العائن سهم معنوي إن صادف البدن لا وقاية له أثر فيه وإلا لم ينفذ السهم بل ربما رد على صاحبه كالسهم الحسي سواء
Yang keluar dari mata seorang ‘A`in adalah panah maknawi (abstrak). Jika panah itu mengenai badan yang tidak memiliki ‘benteng’ maka ia akan berpengaruh padanya. Tapi jika badan itu memiliki benteng maka panah itu tidak akan bisa menembusnya. Bahkan bisa jadi ia berbalik mengenai pemiliknya. Disini ia sama dengan panah yang nyata.
Imam Ibnu al-Jauzi –senada dengan definisi Ibnu Hajar di atas- mengatakan:
العين لا تصيب إلا ما يستحسن للشيء ولا يكفى الاستحسان فى إصابة العين حتى تكون من حاسد ولا يكفى ذلك حتى يكون من شرير الطبع، فإذا اجتمعت هذه الصفات خيف من إصابة العين، فليكن الإنسان مظهرا للتجميل مقدار ما يأمن إصابة العين ويعلم أنه فى خير، وليحذر الإفراط فى إظهار النعم فإن العين هناك محذورة
“’Ain tidak akan mengenai sesuatu kecuali ia dilihat dengan rasa suka. Rasa suka juga tidak cukup untuk mengenai sebuah objek kecuali datang dari orang yang merasa hasad. Rasa hasad juga tidak cukup sampai ia muncul dari orang yang memiliki tabiat buruk. Kalau semua hal ini berhimpun maka bahaya ‘ain dikhawatirkan terjadi. Maka hendaknya seseorang menampilkan keindahan dalam kadar dimana ia aman dari bahaya ‘ain dan ia yakin akan baik-baik saja. Hendaknya ia waspada dan tidak terlalu berlebihan menampakkan nikmat yang ada padanya, karena ‘ain perlu diwaspadai.”
*
Kesimpulannya :
Pertama, ‘ain itu benar adanya.
Kedua, ‘ain itu biasa menimpa sebuah objek ketika subjek merasa kagum dan suka.
Ketiga, rasa suka yang bercampur dengan hasad (iri) berpotensi menimbulkan bahaya pada objek, apalagi kalau subjek ‘ain adalah seorang yang memiliki tabiat yang buruk
Keempat, agar terhindar dari bahaya ‘ain, ketika kita merasa kagum atau suka pada sesuatu maka ucapkanlah Masya Allah, La Quwwata Illa Billah.
Kelima, diantara cara untuk mengobati bahaya ‘ain adalah subjek sumber ‘ain disuruh mandi. Lalu air bekas mandi itu dibasuhkan pada bagian sakit objek yang terkena ‘ain.
Keenam, tidak mengapa memasang foto profil untuk dijadikan arsip, kenangan atau bentuk tahadduts bin ni'mah selama tetap memperhatikan adab-adab Islam dan kepatutan. Tapi jangan terlalu berlebihan dalam mengekspos nikmat karena ada resiko di-hasadi dan bisa jadi membahayakan kita kalau ternyata orang yang hasad itu memiliki tabiat yang khabits.
Ketujuh, ‘ain tidak akan berpengaruh kalau objek yang dilihat memiliki benteng. Tidak ada benteng yang lebih baik selain berselindung pada Allah Swt, menjaga kualitas keimanan dan jangan lengah sedikitpun dari mengingat Allah Swt.
Semoga bermanfaat.
والله تعالى أعلم وأحكم
[YJ]